Singaraja, Persidangan kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oknum dosen terhadap mahasiswi di sebuah tempat kost di Banyuning masih terus bergulir, bahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap ngotot terhadap perbuatan yang telah dilakukan terdakwa meski kuasa hukum terdakwa telah mengajukan pledoi atau nota pembelaan dalam persidangan itu.
JPU, Made Juni Artini, SH. dan Made Heri Permana, SH.MH., melalui surat tuntutannya tetap bertahan untuk menghukum perbuatan yang telah dilakukan PAA, sebab terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual sebagimana diatur dalam pasal 6 huruf c UU RI No. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dalam dakwaan kesatu.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya restitusi kepada korban sebesar Rp. 10.340.000.00,-, apabila terdakwa tidak membayar restetusi maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan kurungan,” ungkap JPU dalam surat tuntutannya.
Sementara, usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Singaraja, kuasa hukum PAA, I Nyoman Mudita, SH., Rabu 29 Nopember 2023 menyebutkan, tuntutan pidana yang telah diajukan dalam persidangan oleh JPU sangat jauh memberatkan dan bahkan tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa, tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum tidak mencerminkan rasa ketidakadilan.
“Jaksa Penuntut Umum sangatlah emosional seakan-akan balas dendam dalam menjatuhkan tuntutan pidana, Jaksa Penutut umum telah mengingkari nilai-nilai dan tujuan dari pada penegakan hukum itu sendiri yaitu untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan pidana agar menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat,” tegas Mudita.
Mudita sebagai kuasa hukum terdakwa juga mengungkapkan fakta-fakta dalam persidangan, dimana terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan mengerakan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain.
“Dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan bukti-bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa diantaranya, barang bukti berupa HP korban dan pakaian-pakaian. HP korban membuktikan percakapan antara korban dengan terdakwa apakan percakan tersebut ada maksud bujuk rayu untuk melakukan pencabulan dan pakian saat kejadian sangat diperlukan diajukan sebagai bukti di persidangan,” beber Kuasa Hukum terdakwa.
Selain itu juga, Mudita menyebutkan tidak diketemukan video rekaman CCTV terdakwa sedang melakukan perbuatan pidana dan ada bukti korban pada saat kejadian malah berdenda gurai dan tertawa. “Sehingga tidak kelihatan sama sekali ada terjadinya trauma dan ketakutan terhadap diri korban, dengan alasan-alasan tersebut maka tidak terbukti terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan,” ujarnya.
Selain sejumlah fakta-fakta yang ditemukan, Mudita selaku kuasa hukum PAA juga membeberkan hasil pemeriksaan medis dan psikologis terhadap korban yang tidak menunjukan adanya trauma atau ketakutan.
“Pasca kejadian korban dapat bicara dengan lancar dan korban juga melakukan kegiatan kampus, korban terlihat tenang – tenang saja, tanpa ada beban psikologis maka terbukti korban secara fisik dan psikis setabil,” paparnya.
Kejanggalan lain juga diungkap berkaitan etika yang dilakukan oleh korban, sebab korban yang sudah dewasa sudah sepatutnya dijam tengah malam tidak menerima tamu lain jenis dan korban telah mengirimkan sharelock kepada terdakwa dan korban juga menjemput terdakwa ketempat parkir, kemudian langsung mengantarkan terdakwa kekamar kost korban sehingga berdasarkan atas bukti-bukti tersebut maka terbukti korban telah menghendiki artinya antara korban dan terdakwa ada kehendak suka sama suka.
“Dalam kejadian seperti ini, tidak sepenuhnya juga kesalahan itu ditimpakan kepada terdakwa, ini berlaku hukum sebab akibat, ada akibat seperti ini tentu juga disebabkan oleh korban sendiri, yang seharusnya justru Korban melakukan pencegahan yaitu dengan tidak menerima tamu laki – laki ditengah malam,” ungkap Mudita.
Sebelumnya, rekaman kamera pengawas CCTV tersebar pada sejumlah media sosial, dimana seorang dosen diduga melakukan pelecehan seksual di sebuah tempat kost mahasiswi di seputaran Jalan Komodo Singaraja, bahkan dari rekaman itu terlihat seorang laki-aki yang diduga oknum dosen menarik pinggang seorang perempuan. Tercatat waktu kejadian pada Jumat 5 Mei 2023 sekitar pukul 01.15 wita.
Aksi cabul dosen tersebut terekam dalam dua potongan video berdurasi sekitar 9 detik. Terlihat korban yang tengah duduk di depan kamar, beberapa kali ditarik ke dalam oleh seorang pria yang diduga hendak memperkosanya. Namun korban berusaha menolak dan melawan dosen yang hendak berbuat tidak senonoh.
Sat Reskrim Polres Buleleng menyikapi viralnya video dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang oknum dosen terhadap mahasiswi langsung bergerak, bahkan kasusnya setelah dilaporkan dilakukan pengecekan, bahkan beberapa barang bukti sudah langsung diamankan termasuk mendengarkan keterangan korban di Unit PPA Sat Reskrim Polres Buleleng. (TIM)
Discussion about this post