Akulturasi budaya Bali-China terlihat menonjol dalam perayaan Imlek di Ling Gwan Kiong. Masyarakat datang dengan membawa sesajen canang sari, kemudian menggunakan gamelan gong untuk mengiringi persembahyangan.
Singaraja, Perayaan Tahun Baru Imlek 2569 di tahun 2018 ini di Kabupaten Buleleng berjalan khidmat dan khusyuk. Untuk di Kota Singaraja, ribuan umat Tionghoa memadati Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Ling Gwan Kiong di kawasan eks. Pelabuhan Buleleng, sejak Jumat (16/2/2018) pagi. Mereka silih berganti datang sejak pukul 07.00 Wita untuk melakukan proses persembahyangan.
Uniknya lagi, mereka yang hadir ada membawa sarana persembahyangan berupa canang sari, untuk dihaturkan di Klenteng yang didirikan sejak tahun 1873 oleh Dinasti Qing. Bahkan, selama proses persembahyangan di Klenteng yang berusia ratusan tahun ini, diiringi suara gamelan gong dan angklung. Hal ini menunjukan, akulturasi budaya yang kuat selama proses persembahyangan tersebut.
Wakil Ketua Pengurus TITD Ling Gwan Jiong, Gunadi Yetial mengatakan, memang sudah tradisi jika perayaan Imlek selalu dipadati umat Tionghoa dari berbagai penjuru Buleleng, yang dimulai sejak Kamis lalu dengan Sembahyang Dewa Naik hingga dua pekan mendatang yang diperingati acara Imlek Bersama. Aklulturasi budaya, kata dia, juga melekat dalam tradisi imlek ini.
“Akulturasi budaya Bali-China memang kami tonjolkan di setiap perayaan Imlek di Ling Gwan Kiong. Masyarakat datang dengan membawa sesajen canang sari, kemudian menggunakan gamelan gong untuk mengiringi persembahyangan,” kata Gunadi, ditemui disela-sela persembahyangan.
Dalam sehari, sambung Gunadi, jumlah umat yang sembahyang ke Klenteng Ling Gwan Kiong mencapai 3000 umat, dari Kabupaten Buleleng. “Khusus di Klenteng ini (Ling Gwan Kiong) Dewa pujaannya adalah Dewa Tan Hu Cin Jin (Chen Fu Zhen Ren) yang berarti orang sakti dari marga Tan atau Chen. Dewa Tan Hu Cin Jin merupakan salah satu dari Angkatan perang Laksamana Cheng Ho,” jelas Gunadi.
Keunikan lain juga ditemukan di Klenteng Ling Gwan Kiong ini, dimana terdapat puluhan ekor kura-kura yang dibawa oleh Umat Tionghoa yang sembahyang sebagai simbol buang sial dan umur panjang. Simbol itu kata dia, sesuai dengan cerita dibalik Klenteng ini pada masa penjajahan Jepang tahun 1940-an. Klenteng ini dihormati oleh tentara Jepang.
“Beberapa torpedo yang ditembakkan oleh tentara Sekutu tidak ada satupun yang mengenai Kelenteng Ling Gwan Kiong. Padahal bangunan gudang yang berada di depan kelenteng hancur tertembak dan sebuah torpedo yang kandas serta tidak meledak di muara sungai yang berada di dekat Kelenteng,” tutur Gunadi.
Sementara salah seorang umat Tionghoa bernama Putu Suryani berharap, pada Shio Anjing Tanah ini bisa memberi vibrasi dan kesejahteraan terhadap umat manusia. “Saya berharap, tahun ini bisa memberi kesejahteraan bagi umat manusia, rejeki lancar dan diberikan kesehatan dan kedamaian,” ucap Suryani.
Selama perayaan Imlek, banyak anak-anak berkumpul di depan Klenteng Ling Gwan Kiong. Puluhan anak-anak itu berharap, mendapatkan angpao dari umat setelah bersembahyang. Bahkan tak jarang terlihat, banyak umat yang memberikan angpao kepada anak-anak tersebut, sebagai bentuk saling berbagi dan ucap syukur. (033)
Discussion about this post