Selama berpuluh-puluh tahun lamanya konflik agraria yang terjadi di desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, akhirnya berakhir dengan indah. Berakhirnya konflik agraria di desa tersebut, ditandai dengan pembagian ratusan sertifikat hak milik (SHM) kepada warga desa setempat.
Singaraja, Terlihat ratusan warga desa Sumberklampok dengan wajah ceria, Selasa (18/5/2021) menerima bukti kepemilikan lahan yang merupakan hasil perjuangan panjang dan melelahkan. Ratusan sertifikat tanah ini diserahkan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, kepada warga setempat, bertempat di wantilan kantor Desa Sumberklampok.
Hadir juga, Ketua DPRD Provinsi Bali, Nyoman Adi Wiryatama, Kakanwil BPN Bali, Rudi Rubijaya, FKPD Provinsi Bali, Sekda Bali, Dewa Made Indra, Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana dan juga beberapa pimpinan SKPD lingkup Pemkab Buleleng, Camat Gerokgak, Made Juartawan, dan tokoh masyarakat Desa Sumberklampok, serta warga desa penerima sertifikat.
Gubernur Bali, Wayan Koster mengatakan, pemberian sertifikat ini setelah ada kesepakatan dengan warga Desa Sumberklampok soal opsi penyelesaian. “Akhirnya bisa selesai dengan cepat, setelah saya secara intens berkomunikasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang RI dan memberi apresiasi karena sesuai konsep penyelesaian reforma agraria,” kata Koster.
Untuk sekedar diketahui, konflik tanah di Desa Sumberklampok berawal dari adanya rencana bedol desa warga setempat pada tahun 1990 oleh Gubernur Bali saat itu Ida Bagus Oka karena dianggap menempati lahan milik Negara. Warga diminta direlokasi ke tempat lain.
Warga pun kemudian melakukan perlawanan untuk memperjuangkan hak kepemilikan atas lahan yang mereka tempati sejak puluhan tahun sebelumnya. Lahan di Desa Sumberklampok yang seluas 600 hektare berasal dari lahan eks HGU dengan luas 200 hektare, lalu Unit dua PT. Margarana seluas 267 hektare dan unit 3 seluas 151 hektare.
Perjuangan warga menemukan titik terang sejak Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Akhirnya, penyelesaian konflik agraria ini semakin dipercepat dengan adanya rencana pembangunan bandara Bali utara disebagian areal lahan tersebut.
Ada opsi komposisi penyelesaian dengan pola 70 : 30 sebagai solusi. Yakni komposisi 30 persen (154,25 hektare) untuk Pemprov Bali dan 70 persen (359,87 hektare) dari total luas garapan seluas 514,01 hektare untuk masyarakat. Opsi inipun lalu disepakati masyarakat.
Saat ini, sebanyak 720 sertifikat yang dibagikan kepada masyarakat dari sebanyak 800 sertifikat. “Untuk tahap dua dilanjutkan untuk lahan garapan yang rencana tuntas bulan Juni 2021. Hari ini diserahkan 720 sertifikat dari sebanyak 800 sertifikat. Sisanya ada rencana Presiden Jokowi akan ke Bali dan saya mohon agar Presiden yang menyerahkan kepada warga,” ujar Koster.
Sementara Kakanwil BPN Bali, Rudi Rubijaya menegaskan, sejak awal warga melalui Tim 9 Desa Sumberklampok menentukan sendiri alokasi dan katagori penyelesaian benar-benar berbasis kesepakatan. “Kami hanya ingin memastikan yang 70 persen silahkan warga memutuskan dengan kearifan lokalnya. Kami berharap ini solusi terbaik,” ucap Rudi Rubijaya.
Untuk penyelesaian tahap dua, kata Rudi Rubijaya, sudah dibuatkan simulasi yang kemudian menunggu kesepakatan warga. “Target kami bulan Juni nanti pak Presiden yang menyerahkan sertifikat langsung kepada warga sekaligus menandai berakhirnya konflik Sumberklampok yang sudah berlangsung puluhan tahun,” ungkap Rudi Rubijaya.
Sementara Ketua Tim 9 Desa Sumberklampok, Putu Artana sangat memberikan apresiasi atas penyelesaian konflik agraria ini. “Ini adalah komitmen Gubernur Bali serta komponen lainnya yang ikut terlibat penyelesaian persoalan tanah yang selama ini terjadi di Sumberklampok,” pungkas Artana. (FAL)
Discussion about this post