Maraknya kasus kekerasan dan persetubuhan terhadap anak dibawah umur yang terjadi di Buleleng, menjadi sorotan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunitas Masyarakat Untuk Penegakan Hukum dan Keadilan (KoMPaK). Selain kurang ketatnya pengawasan orangtua, faktor lingkungan juga menjadi pemicu maraknya kasus ini.
Singaraja, Menyikapi adanya persoalan ini, LSM KoMPAK pada Jumat 25 Juni 2021 menggelar Dialog hukum, dengan tema ‘Maraknya Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Di Buleleng, Apa yang Salah’, bertempat di kampus Unipas Singaraja. Dialog hukum ini juga digelar secara virtual.
Dalam dialog hukum ini, hadir juga beberapa narasumber yakni Ketua Komisi IV DPRD Buleleng, Luh Hesti Ranitasari, Perwakilan unit PPA Satreskrim Polres Buleleng, Remiasih, Dekan Fakultas Hukum Unipas Singaraja, Dr. I Nyoman Gede Remaja, Wakil Ketua LSM KoMPak Putu Santi Arsana, dan praktisi hukum hadir Nyoman Sunarta, serta TP2TP2A Buleleng, Made Ricko Wibawa.
Selain persoalan maraknya kasus kekerasan dan persetubuhan anak dibawah umur, dalam dialog hukum ini juga dibahas mengenai biaya visum yang harus dikeluarkan oleh morban, termasuk aturan yang belum diterapkan secara maksimal, sehingga kasus ini bisa marak terjadi di Buleleng.
Perwakilan Unit PPA Satreskrim Polres Buleleng, Remiasih tak menampik, jika sejak tahun 2020 hingga tahun 2021 ada peningkatan kasus kekerasan dan persetubuhan anak dibawah umur di Buleleng. Hanya saja, hambatan yang sering terjadi yakni persoalan visum yang harus ditanggung korban sendiri.
Praktisi Hukum, Nyoman Sunarta menegaskan, kelemahan selama ini dalam penegakan hukum terhadap kasus kekerasan dan persetubuhan terhadap anak dibawah umur dan perempuan, lantaran tidak mampunya aparat penegak hukum dalam menggali keterangan korban agar mereka bersedia jujur.
Sejauh ini, menurut Sunarta yang juga berprofesi sebagai Advokat, banyaknya aturan tentang upaya perlindungan perempuan dan anak, justru tidak menjamin keselamatan mereka. Terbukti hingga saat ini, di Buleleng banyak terjadi kasus tersebut. Artinya, aturan tersebut tidak berjalan maksimal dalam penerapan.
“Sebagus apapun peraturan itu, tapi buktinya apa yang terjadi? Tidak ada realisasi. Saya berani katakan contoh, kasus pembuangan bayi, saya yakin ujung-ujungnya sampai di ibu sebagai tersangka. Tidak mungkin, perempuan hamil tanpa adanya laki-laki. Ini harus dikejar. Kegagalan dalam penegakan kasus ini, tidak mampunya menggali informasi korban, agar mereka mai bersuara jujur,” sentil Sunarta.
Dialog hukum yang berlangsung selama hampir 3 jam lamanya ini, dari narasumber maupun peserta memiliki pandangan yang berbeda menyikapi maraknya kasus ini. Hanya saja, maraknya kasus ini karena lemahnya pengawasan orangtua termasuk aturan melalui Perda yang ada belum maksimal diterapkan.
Ditemui usai dialog hukum, Ketua Komisi IV DPRD Buleleng, Luh Hesti Ranitasari mengaku, tidak akan pernah berhenti untuk menekan kasus yang menimpa anak dibawah umur. Komisi IV yang membidangi hal ini, sudah berupaya agar kasus serupa tidak marak atau terulang terjadi di Buleleng.
Melalui dialog hukum ini, menurut Rani sapaan akrabnya, akan ada gambaran jelas mengenai kedepan pencegahan maupun penanganan yang harus dilakukan semua pihak. “Ini karena efek anak-anak libur panjang, orangtua sibuk bekerja sehingga pengawasan kurang. Kami di DPRD berupaya, yakni menyingkronkan Perda dengan Perbup seperti pembebasan biaya visum bagi korban,” jelas Rani.
Dialog hukum yang membahas soal maraknya kasus persetubuhan anak dibawah umur dengan melibatkan praktisi hukum, akademisi, dan anggota DPRD ini, digelar untuk dapat menyamakan persepsi guna pencegahan agar kasus serupa tidak kembali terjadi di Buleleng. (FAL)
Discussion about this post