Upaya hukum yang ditempuh Pemerintah Desa (pemdes) Pengelatan yang bersengketa dengan Nengah Koyan dan ahli warisnya Hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) atas kepemilikan lahan kantor Perbekel Desa Pengelatan, kandas. Dengan turunnya putusan MA No. 738 PK/pdt/2019, membuat kantor Desa itu terancam dieksekusi Pengadilan Negeri (PN) Singaraja.
Singaraja, Mendengar hal tersebut, membuat sejumlah warga desa setempat menjadi tak terima dengan upaya rencana eksekusi itu. Dari hasil pantauan, terpasang beberapa spanduk berisi kata penolakan eksekusi tanah kantor perbekel Desa Penglatan di sejumlah jalan hingga kantor perbekel.
Perbekel Desa Penglatan Nyoman Budarsa mengatakan, pihaknya sudah berupaya mencari solusi terbaik atas sengketa ini, untuk bisa mempertahankan kantor perbekel ini. Masyarakat desa Pengelatan, diharapkan tetap damai dan kantor Perbekel akan tetap melayani masyarakat. “Saya masih tetap akan berusaha memohon kepada atasan kami untuk hadir dalam masalah ini. Ya, setidaknya untuk bisa menemukan win-win solution atas kasus ini,” kata Perbekel Budarsa, Senin 13 September 2021.
Sejatinya ada upaya Eksaminasi atau pengujian atas putusan hakim apakah memenuhi rasa keadilan. Namun Perbekel Budarsa mengaku, belum ada rencana. Hanya saja, jika Pemkab Buleleng memberikan petunjuk segera dilakukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
“Saya tidak paham soal ini, tidak tahu melangkah dari mana. saya belum bisa menjawab ini, apakah akan eksaminasi atau tidak. Kecuali ada dari atasan kami memberikan petunjuk,” jelas Perbekel Budarsa.
Untuk diketahui, persoalan ini mulai mencuat sekitar tahun 2017 lalu, sengketa perdata antara Nengah Koyan bersama ahli warisnya yang juga warga setempat mengklaim hak kepemilikan lahan seluas tiga are dibuktikan dengan SHM, yang diatasnya ada bangunan kantor Perbekel Penglatan melawan Pemdes Pengelatan.
Sidang di tingkat PN Singaraja, perkara ini dimenangkan oleh Nengah Koyan. Hingga akhirnya, Pemdes Pengelatan melakukan upaya hukum lanjutan, namun tetap kandas. Dan menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada 17 Desember 2018 lalu, tapi kandas.
Hinggga Mahkamah Agung melalui Putusan No. 738 PK/Pdt./2019 kembali memenangkan Nengah Koyan. Dalam putusan itu, MA menyatakan tanah seluas 3 are yang diatasnya terdapat asset bangunan, merupakan bagian tak terpisahkan dari lahan milik Nengah Koyan yang luas totalnya mencapai 19 are.
Hanya saja Budarsa mengaku, belun mengetahui kapan eksekusi akan dilakukan. “Jangan sampai kami terlambat memberi informasi kepada masyarakat tentang proses hukum ini, dan upaya akhir setelah diputuskan inkrah. Setelah ada putusan inkrah pun kami juga tetap berusaha, agar desa kami tetap aman dan damai,” jelas Perbekel Budarsa.
Sementara itu tokoh masyarakat desa Penglatan, Kadek Setiawan mengaku, selama ini telah mengawal persoalan ini. Setiawan pun menghormati proses hukum yang telah diputuskan. Namun Setiawan berharap Negara bisa membantu menyelesaikan masalah ini.
“Yang saya heran, kok bisa fasilitas negara digugat oleh pribadi. Saya memperjuangkan kepentingan umum ini, bukan kepentingan pribadi. Harapan saya, Negara bisa hadir untuk ikut menyelesaikan kasus ini,” pungkas Setiawan yang juga anggota DPRD Provinsi Bali.
Secara terpisah, ahli waris Nengah Koyan, Nyoman Supama melalui pesan singkat mengungkapkan kronologis keberadaan tanah tersebut dan diakui yang memberikan pinjaman mengunakan lokasi itu adalah orantuanya (Alm Nengah Koyan) dan yang meminta juga yang bersangkutan.
“Sebagai masyarakat yang taat hukum kami berjuang dari bawah sesuai dengan prosedur hukum dari Pengadilan Negeri sampai tingkat PK. Kami hanya mengadalkan sertifikat hak milik, sedang mereka dibeking pejabat sampai DPR, tidak adilnya dimana?. Faktanya tanah dimana berdiri kantor Desa itu adalah bagian dari warisan leluhur kami, fakta berikutnya selama 50 tahunan tanah itu dipakai tanpa ijin kami selaku pemilik sah terlebih ketika membangun, buktinya IMB saja tidak ada. Jadi fakta dilapangan dibulak-balik,” papar Supama.
Nyoman Supama juga mengungkapkan langkah-langkah mediasi yang telah dilakukan termasuk dari Pemkab Buleleng yang disebutkan diterima oleh keluarga pengugat dengan tangan terbuka, namun demikian disebutkan ada pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan.
“Untuk mediasi dari Pemkab memang ada, kami terima dengan tangan terbuka padahal dalam kesepakatan setelah eksekusi secara simbolis akan dilanjutkan pinjam pakai sambil membicarakan pembayaran ganti ruginya. Nah justru sekarang dibuat drama, sebenarnya sih intinya mereka ingin menyatakan ada mereka dalam kesepakatan itu. Yah silakan saja sih berbohong, faktanya beberapa kali kami rapat dengan Pemkab tidak ada 1 orangpun yang bicara itu ada disitu. Jadi intinya ini sudah ada benang merah akan bagaimana akhir dari konflik ini, tapi kembali lagi ada beberapa orang yang berupaya untuk mempolitisasi,” papar Supama.
Terkait dengan rencana eksekusi, diakui memang beberapa kali ditunda, namun demikian diharapkan Polri & Pengadilan bisa melaksanakan tugasnya secara Profesional demi kewibawaan penegak hukum.
“Apa yang terjadi beberapa hari ini juga upaya menunda eksekusi dengan cara membuat narasi seolah Desa tidak kondusif faktanya hanya puluhan orang yang memasang spanduk keliling Desa, warga desa tahu siapa saja mereka. Tapi tidak apa. Kalau mau melanjutkan pembicaraan kesepakatan dengan Pemkab ya memang harus eksekusi dulu, entah itu secara simbolis atau apalah, intinya eksekusi tetap akan dilaksanakan cepat atau lambat,” tegas Supama. (TIM)
Discussion about this post