Tradisi Rasulan dalam kehidupan masyarakat muslim di Desa Keloran Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogori, Provinsi Jawa Tengah telah berlangsung secara turun-temurun.
Warga telah mengikuti ritual yang dijalankan sejak zaman pra islam hingga penyesuaian dengan akidah saat ini. Meskipun Rasulan telah mengalami perubahan yang sangat pesat dalam pelaksanaannya namun peran modin sangat penting sebagai penerjemah antara ajaran Islam dan konteks sosial budaya masyarakat setempat. Biasanya, mulai bulan Mei hingga Agustus, merupakan bulan-bulan padat penyelenggaraan rasulan.
Rasulan merupakan salah satu bentuk tradisi perayaan pasca-panen yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini diadakan sebagai rasa syukur terhadap hasil panen yang melimpah dan juga sebagai upaya untuk membersihkan desa serta mengharap keselamatan dan menolak mara-bahaya bagi seluruh warga desa.
Dalam tradisi rasulan, terdapat berbagai ritus acara yang dilaksanakan, seperti mengundang pertunjukan wayang kulit atau kesenian lainnya. Tradisi ini biasanya dilaksanakan setelah musim panen yang kedua atau sudah masuk musim kemarau.
Tujuan utama rasulan, menurut tokoh adat di Desa Keloran, adalah untuk memohon kepada Tuhan agar diberikan keselamatan dan kemudahan dalam mencari rezeki serta sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang diperoleh.
“Bersih Desa atau Rasulan adalah ritual di masyarakat kita. Rasulan adalah ritual adat yang diwarisi dari nilai-nilai luhur nenek moyang kita, yang menunjukkan bahwa manusia terhubung dengan alam. ritual juga dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap lingkungan yang menopangnya,” sebut Bapak Agus, salah satu tokoh di Desa Keloran.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah desa membentuk panitia Rasulan yang kemudian merencanakan acara, waktu, dan anggaran yang dibutuhkan. Fachreska, seorang ketua pemuda dari Desa keloran, berbagi, “Begitu detail pelaksanaannya diputuskan, biaya pelaksanaannya dialokasikan kepada keluarga di masyarakat.”
Di Kecamatan Selogiri, Rasulan dilakukan sebagai rangkaian acara yang bisa berlangsung beberapa hari. Tradisi Rasulan diawali dengan usaha gotong royong yang disebut “gugur gunung”, dimana masyarakat membersihkan lingkungan sekitar dengan memperbaiki jalan, membuat atau mengecat pagar, membersihkan kuburan, membersihkan sungai, dan merapikan tempat peristirahatan leluhur.
Sementara itu, sesepuh Desa Keloran melakukan sesajen dan persiapan untuk keesokan harinya. Sesajen ditempatkan di berbagai titik, antara lain pusat desa, tempat keramat, lokasi yang berhubungan dengan air (sumur, sungai, mata air), batas desa (utara, selatan, timur, barat), setiap persimpangan dan setiap persimpangan di kawasan tersebut.
Pengaturan waktu diatur pada saat panen pertama atau saat padi dipanen pertama kali. Sesajiannya berupa aneka barang seperti hiasan daun kelapa kuning (janur kuning), aneka bunga (kembang setaman), barang pecah belah, sisir, air dalam tempayan tanah liat (kendhi), jajanan tradisional, nasi, dan pisang. Sesaji tersebut kemudian didoakan secara bersama-sama dipimpin oleh sesepuh desa yang dikenal sebagai “pak Kaum” atau “pak Modin”, hingga upacara selesai.
Setiap barang memiliki fungsi dan makna yang berbeda, antara lain: Nasi Gurih, melambangkan persembahan kepada leluhur; Ingkung, melambangkan manusia sebagai bayi dan berserah diri kepada Sang Ilahi; Jajan Pasar, melambangkan berkah masyarakat; Pisang Raja, melambangkan harapan akan kehormatan dalam hidup; Nasi Ambengan, ungkapan rasa syukur atas nikmat dari Sang Ilahi; Jenang, terdiri dari jenang merah putih (melambangkan ayah dan ibu) dan jenang palang (menolak bahaya); Tumpeng, melambangkan Ketuhanan (tumpeng lanang) dan menghormati leluhur (tumpeng wadon), dengan ukuran lebih kecil; Ketan Kolak Apem, digunakan untuk menakar dhanyang yang ada di wilayah desa.
Keesokan harinya, rangkaian acara diisi dengan kesenian budaya lokal dalam acara rasulan. Berbagai acara seperti warok, kuda lumping, dan tarian-tarian seperti reog, jathilan, dan ketoprak mewarnai kegembiraan acara tersebut. Perlombaan sepak bola antar dusun, voli, dan berbagai pertunjukan lainnya juga menjadi bagian dari rasulan, tergantung pada kesiapan dan kemampuan masing-masing wilayah penyelenggara.
Beberapa generasi muda tidak terlalu mempercayai nilai-nilai mistik dalam ritus tradisi rasulan seperti yang diyakini oleh kaum tua. Mereka melaksanakan ritual dan prosesi rasulan bukan semata-mata karena nilai-nilai mistik yang ada, tetapi lebih pada kegembiraan, nilai kebersamaan, dan silaturrahim. Mereka juga menikmati kesempatan untuk menari, menyanyi, dan bersenda gurau bersama. Inilah nilai-nilai yang dipahami oleh sebagian kalangan pemuda yang mencoba mengubah pola pikir terhadap tradisi rasulan di wilayah mereka.
Tradisi Rasulan di Desa Keloran, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri dapat dianalisis melalui prinsip Tri Hita Karana (THK), yakni filosofi yang menekankan harmoni antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan manusia dengan lingkungan (palemahan).
Tradisi ini mencerminkan ketiga unsur THK sebagai berikut :
Parhyangan (Hubungan dengan Tuhan)
Tradisi Rasulan diawali dengan berbagai ritual keagamaan, seperti doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama atau modin. Ritual ini mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah dan memohon keselamatan serta kelancaran rezeki bagi masyarakat. Sesajen yang disiapkan, seperti nasi gurih, ingkung, dan tumpeng, menjadi simbol persembahan kepada Tuhan dan leluhur sebagai ungkapan syukur dan penghormatan.
Pawongan (Hubungan dengan Sesama Manusia)
Rasulan memperkuat nilai kebersamaan dan gotong royong masyarakat. Melalui kegiatan gugur gunung, warga desa membersihkan lingkungan secara bersama-sama, menciptakan rasa persaudaraan dan solidaritas. Acara seni, seperti pertunjukan wayang kulit, reog, jathilan, serta perlombaan olahraga antar dusun, menjadi momen bagi masyarakat untuk bersilaturahmi, berbagi kebahagiaan, dan mempererat hubungan antarindividu.
Palemahan (Hubungan dengan Lingkungan)
Tradisi Rasulan mengajarkan masyarakat untuk menjaga lingkungan. Kegiatan membersihkan desa, sungai, dan tempat keramat mencerminkan kesadaran akan pentingnya lingkungan yang bersih dan lestari. Pemberian sesajen di lokasi-lokasi tertentu, seperti sumur, sungai, dan batas desa, menunjukkan penghormatan terhadap sumber daya alam yang menopang kehidupan masyarakat.
Tradisi Rasulan di Desa Keloran selaras dengan prinsip Tri Hita Karana dalam upaya menjaga keseimbangan spiritual, sosial, dan ekologis. Meskipun mengalami adaptasi terhadap akidah Islam, esensi tradisi ini tetap hidup dalam harmoni nilai-nilai lokal dan agama. Dengan melestarikan Rasulan, masyarakat tidak hanya menjaga warisan budaya tetapi juga menciptakan keseimbangan hidup yang berkelanjutan, sesuai dengan filosofi Tri Hita Karana. |RED
Discussion about this post