Singaraja, Sejumlah warga yang tinggal di Dusun Musi, Desa Musi, Kecamatan Gerokgak Buleleng, hingga Jumat 6 Mei 2022 terpaksa harus tinggal beratapkan terpal. Hal ini terjadi setelah rumah tinggal yang selama ini sudah mereka tempati berpuluh tahun diratakan dengan tanah oleh sekelompok orang yang diduga dari pihak yang mengklaim tanah tersebut.
Keseluruhan warga yang tergusur akibat aksi itu berjumlah 16 orang, terdiri dari 2 Kepala Keluarga. Mereka adalah keluarga Ni Luh Merti (76) beserta anak, menantu dan cucunya, serta keluarga I Gede Sukra Redana beserta anak dan cucunya.
Menurut I Gede Darmayasa, anak dari Ni Luh Merti mengatakan kalau keluarga ini sudah tinggal di sana sejak tahun 1958, dan menempati lahan yang diwariskan oleh Bapaknya atas nama I Nengah Wirni yang merupakan warga asli Desa Seraya, Karangasem yang merantau ke Desa Musi.
“Bapak saya asli dari Desa Seraya Karangasem, merantau ke Musi dan tinggal di lahan ini. Kemudian sekitar tahun 1969, bapak saya diberikan hak oleh pemerintah untuk mengelola tanah ini sebagai tanah Redis,” ujar I Gede Darmayasa.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu kepala keluarga yang rumahnya ikut dihancurkan, yaitu I Gede Sukra Redana yang merupakan anak dari I Putu Gejgel. “Bapak saya yang bernama I Putu Gelgel tercatat sebagai penerima tanah Redis atas lahan yang saya tempati ini, bahkan sudah pernah punya sertifikat. Namun karena rumah kami terbakar sekitar tahun 1976, sertifikatnya juga ikut terbakar, Tapi kami masih memiliki foto copynya,” ujar I Gede Sukra Redana sambil memperlihatkan foto copy sertifikat.
Karena merasa bahwa lahan yang mereka tempati adalah sah milik mereka, keluarga ini damai damai saja tinggal di sana selama puluhan tahun. Masalah baru muncul ketika tanggal 6 April 2022, mereka menerima surat yang isinya perintah untuk mengosongkan lahan yang mereka tempati selama ini karena lahan tersebut telah dibeli oleh I Ketut Arya Budi Giri sejak tahun 1992. Karena mereka merasa bahwa lahan tersebut adalah milik mereka, keluarga inipun mengabaikan surat tersebut.
Sampai pada tanggal 17 April 2022, sekelompok orang datang dan mengobrak abrik lahan mereka serta menyuruh pergi bahkan menebang pohon–pohon yang ada di lahan tersebut. “Karena takut dan tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya kami menghubungi kerabat dari Desa Seraya yang berprofesi sebagai pengacara,” kata I Gede Darmayasa.
Hal ini dibenarkan oleh I Made Arnawa, SH, salah satu kuasa hukum warga. “Kebetulan salah satu rekan kami, Advokat I Wayan Eko berasal dari Seraya dan diminta bantuan untuk mengawal kasus ini,” katanya.
Ditambahkan Arnawa, setelah dimintai bantuan oleh warga, pihaknya langsung turun ke Desa Musi untuk mengumpilkan data–data. “Dari data, informasi yang kami kumpulkan, memang benar ada dokumen yang menyatakan kalau tanah yang ditempati warga itu adalah tanah Redis. Jadi di sini kita temukan ada dua dokumen kepemilikan yang berbeda,” kata Arnawa.
Mendapati kondisi tersebut, Tim Kuasa Hukum warga langsung bertindak cepat. Apalagi pada tanggal 25 April 2022, warga kembali menerima surat dari sekelompok orang untuk mengosongkan lahan tersebut paling lambat tanggal 29 April 2022 termasuk melakukan upaya paksa untuk mengosongkan lahan itu dan kembali dilakukan Kamis 5 Mei 2022.
Dikonfirmasi atas adanya kasus tersebut Kepala Desa Musi, Kecamatan Gerokgak Nyoman Arya Swabawa membenarkan. Menurutnya, rumah tinggal warganya tersebut dihancurkan karena dianggap menempati lahan milik orang lain. Namun sebelumnya, pihak desa sudah sempat melakukan mediasi agar dilakukan dengan cara-cara yang lebih elegan dengan cara tidak melakukan penghancuran.
“Sudah kami lakukan mediasi namun tidak menemukan titik temu.Kami pun sudah meminta agar kasus tersebut dilakukan dengan tidak cara kekerasan namun tidak mendapat respon para pihak,”jelas Arya Swabawa.
Terkait sengketa lahan antara warganya dengan pihak luar desa itu, Swarbawa mengaku memiliki sejumlah dokumen atas lahan yang sebelumnya merupakan lahan redistribusi (redis) tersebut. Namun karena sudah memasuki wilayah hukum, Swarbawa mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum. “Sementara soal warga yang terpaksa tinggal dibawah tenda kami sudah melakukan upaya agar menempati lokasi yang lebih layak termasuk menumpang dirumah kerabatnya,” imbuh Swarbawa.
Disisi lain, Penasehat Hukum Warga telah mengirimkan nota keberatan ke BPN Buleleng atas terbitnya sertifikat bernomor 321 atas nama Arya Budi Giri sebab diduga dalam proses penerbitan sertifikat tersebut terindikasi pemalsuan dokumen dan permainan mafia tanah. (TIM)
Discussion about this post