Singaraja, Polemik batu ampar terkait lahan di Dusun Batu Ambar Desa Pejarakan Kecamatan Gerokgak kembali memanas setelah Nyoman Tirtawan selaku kuasa masyarakat yang menuntut lahan tersebut berangkat ke Jakarta melakukan aksi demo, bahkan dari aksi itu akhirnya Mantan Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana (PAS) melakukan perlawanan.
PAS melalui kuasa hukumnya, Gede Indria, Jumat 23 Desember 2022 menyebutkan, fakta hukum yang terjadi berkaitan dengan polemik batu ampar tersebut telah memiliki sertifikat berupa Hak Pengelola Lahan dan kemudian Hak Guna Bangunan dengan pemegang hak yang sah Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Buleleng.
“Jadi kalau kita melihat fakta yang ada, bahwa tanah-tanah yang ada menjadi persoalan disini, sejak 1976 itu sudah mempunyai sertifikat yang namanya Hak Pengelola Lahan (HPL) nomor satu tahun 1976 itu atas nama pemegang hak yang sah adalah Pemda Kabupaten Buleleng,kalau dahulu itu istilahnya Pemda Tingkat II Buleleng, lalu kemudian diatas HPL itu ada dimafaatkan oleh suatu badan hukum yang sah PT Prapat Agung,maka tahun 1991 itu keluarlah HGB yang umurnya 25 tahun yang kemudian tentu kalau masih bagus bisa diperpanjang,” ungkap Indria saat bertemu dengan wartawan di Ranggon Sunset Penimbangan.
Disisi lain, Gede Indria sebagai kuasa hukum PAS mengakui adanya upaya masyarakat untuk mengklaim lahan milik Pemkab Buleleng tersebut, namun dua kali dalam proses hukum hingga ke tingkat Mahkamah Agung tidak bisa membuktkan dengan bukti secara otentik.
“Sekarang ada sekumpulan masyarakat apakah itu oknum apakah itu masyarakat desa itu disana yang mengklaim bahwa tanahnya itu adalah tanah miliknya, itu tidak ada bukti otentik yang bisa meyakinkan kepada pemerintah dalam hal ini wakil Tuhan kita sebut sebagai pengadilan, itu tidak bisa meyakinkan tanah miliknya, oleh karena yang diajukan pembuktian pada saat sidang terdahulu itu tahun 2000 itu adalah sertifikat HPL dan sertifikat HGB yang itu diterbitkan dengan cara-cara yang benar, tidak ada pelanggaran hukum,” paparnya.
Secara gamblang, Gede Indria menjelaskan fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam polemik batu ampar itu, bahkan disebutkan adanya sekelompok masyarakat mengajukan gugatan untuk menjadi hak milik, “Kemudian dalam proses pengajuan hak milik itu, baru dalam proses masyarakat menjual pada Nyoman Tirtawan, begitu faktanya. Kalau jual belinya dilakukan secara bagus, jual belinya pasti diajukan di camat atau di PPAT atau di camat atau di notaris. Kemudian setelah proses pengajuan itu dijawab oleh BPN sudah ada sertifikat HPL sehingga mereka tidak diberikan hak, kalau sekarang diterbitkan kan tumpang tindih,” ungkap Indria.
Kuasa Hukum Agus Suradnyana mempertanyakan berkaitan dengan aksi-aksi yang dilakukan tanpa melalui proses hukum, sebab sebagai negara hukum seharusnya pihak-pihak yang nerasa keberatan mengajukan permasalahan itu ke Pengadilan.
“Itu sudah ada putusan hukum, baik dalam putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, di mahkamah agung, dua kali melakukan putusan dikatakan HPL itu sah, HGB itu sah sampai pada batas waktu 25 tahun. Jadi kita ini aturan hukum ada, jadi seharusnya apapun kalau ada persoalan-persoalan hukum, bawalah persoalan itu ke wakil Tuhan, siapa wakil Tuhan di Indonesia, pengadilan, kan itu wakil Tuhan, Jadi kalau kita sudah mempercayakan kepada pengadilan, Pengadilanpun ada bertahap,kalau kalah banding, kemudian ada kasasi atau peninjauan kembali,” beber Indria.
Berkaitan dengan rencana upaya hukum yang akan dilakukan terhadap kelompok masyarakat tidak terkait dengan polemik batu ampar, namun beberapa hal berkaitan dengan pencemaran nama baik maupun fitnah. “Nah sekarang dalam persoalan ini ada disinyalir ucapan-ucapan yang menyebabkan perasaan tidak menyenangkan, pelecahan, asusila lalu kemudian pencemaran nama baik. Jadi hukum itu sifatnya tidak saja menghukum tapi melindungi juga,” ungkap Indria.
Sementara, Nyoman Tirtawan menyebutkan, sejak tahun 1952, warga Dusun Batu Ampar menerabas hutan belantara untuk bercocok tanam dan bermukim di atas tanah tersebut. Warga diberikan surat kepemilikan tanah pada tahun 1959 sebagai bukti legalitas oleh Pemerintah.
Namun pada tahun 1976 kata Nyoman, lantaran pemerintah membutuhkan kapur sebagai bahan bangunan, maka diterbitkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) kepada Perusahaan Daerah Swatantra seluas 45 hektar di atas tanah pemukiman warga Dusun Batu Ampar. “Di dalam sertifikat HPL tertulis kalimat “lamanya hak berlaku sepanjang tanah yang dimaksud dipergunakan untuk proyek pengapuran”,” bebernya.
Secara de facto kata Nyoman, proyek pengapuran berakhir tahun 1980-an. Kemudian Bupati Buleleng dan Kepala Kantor Agraria Buleleng bersurat kepada Menteri Dalam Negeri pada tahun 1982. Hal tersebut dilakukan agar tanah yang terbit di atas sertifikat milik warga didistribusikan kepada 55 warga atas nama Raman dan kawan-kawan.
“Atas dasar itulah Menteri Dalam Negeri kemudian memutuskan dan menetapkan pendistribusian tanah tersebut kepada Raman dan kawan-kawan bersama 55 warga untuk dijadikan Hak Milk karena telah memenuhi syarat,” tegasnya.
Nyoman Tirtawan mengatakan, dari 55 warga yang diberikan SK Mendagri tahun 1982, baru 4 warga yang diproses penerbitan sertifikatnya yaitu Ketut Salin, Marwiyah, Pan Deresna dan Adna. Sedangkan sisanya berjumlah 51 warga ditolak proses penerbitan sertifikatnya tanpa alasan yang jelas atau diperlakukan secara diskriminatif. “Tahun 1990 warga diusir oleh oknum aparat dari tanah mereka tanpa diberikan uang sepeserpun,” katanya.
Pada bagian lain, Tirtawan menyebutkan sekitar tahun 2015 Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana mencatatkan tanah milik warga tersebut sebagai aset Pemkab Buleleng tanpa dokumen, tanpa asal-usul dan tanpa nilai alias nol rupiah, bahkan langkah Agus Suradnyana melanggar SIMAK-BMN (sistem informasi manajemen dan akuntansi barang milik negara), bahkan BPK menyatakan langkah tersebut sebagai temuan pada tahun 2019.
“Peristiwa yang diyakini secara pasti adanya dugaan mafia tanah di lingkaran BPN, Pemkab Buleleng serta oknum Polres Buleleng, karena warga pemilik tanah diusir dari tanah mereka dan tanahnya ditembok serta telah dibangun Hotel Menjangan Dynasty serta memerintahkan pemilik tanah Batu Ampar untuk menyerahkan sertifikat tanah miliknya,” tegasnya.
Nyoman Tirtawan juga mempertanyakan alasan terbit HPL di atas banyak hak milik atau Sertifikat Hak Milik (SHM). “Kenapa pemkab Buleleng menagih pajak bumi dan bangunan kepada 55 pemilik lahan yang katanya ada HPL? Dari dulu sampai tahun 2022, 55 warga Batu Ampar bayar pajak yang artinya ada kewajiban atas tanah. Pastinya ada hak atas tanah terkait,” tegasnya.
Untuk diketahui, polemikBatu Ampar terus bergulir, bahkan kedua belah pihak mengaku memiliki dikumen atas penguasaan lahan itu sehingga Pj. Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana mengaku akan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan duduk bersama dan melibatkan seluruh pihak yang terkait dan bersengketa. (TIM)
Discussion about this post