Bali dikenal dengan berbagai julukan seperti Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, dan Paradise Island (Pulau Surga). Julukan-julukan tersebut diberikan oleh para pengunjung sebagai bentuk ekspresi terhadap keindahan alam, adat istiadat, dan keluhuran masyarakat tradisional Bali.
Secara yuridis, Provinsi Bali terbentuk pada tahun 1958 dengan ibu kota di Singaraja, yang kemudian berpindah ke Denpasar pada tahun 1960. Secara geografis, Pulau Bali memiliki luas 5.636,66 km² dengan garis pantai sepanjang 633,35 km, serta dua gunung berapi, yaitu Gunung Agung (3.148 meter) dan Gunung Batur. Keadaan alam ini memberi Bali berbagai keindahan alam serta tanah yang subur, yang memberikan kontribusi positif bagi masyarakat Bali.
Mayoritas masyarakat Bali beragama Hindu dan menjalankan adat-istiadat yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Pertanian, peternakan, perikanan, dan yang paling dikenal adalah pariwisata, merupakan sektor-sektor yang ditekuni masyarakat Bali untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Keberadaan alam dan budaya adat Bali menjadi potensi utama dalam pengembangan sektor pariwisata. Perkembangan sektor ini telah memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat Bali. Hal ini tercermin dalam jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali yang dirilis pada 2 Desember 2024, jumlah kunjungan wisatawan ke Bali selama periode Januari hingga Oktober 2024 mencapai 5.309.360 wisatawan, meningkat sebesar 20,98% dibandingkan tahun 2023. Kunjungan wisatawan ini memberikan dampak positif bagi masyarakat Bali.
Perkembangan dunia pariwisata di Bali telah memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat. Pariwisata berbasis budaya dan alam Bali telah berhasil menjadi barometer perekonomian Bali, terbukti dengan pertumbuhan ekonomi Bali yang mencapai 5,58% pada Triwulan III 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Dampak positif ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali.
Budaya, alam, dan masyarakat Bali merupakan keunikan atau keunggulan sektor pariwisata Bali. Sektor ini bisa tumbuh pesat berkat peran budaya, alam, dan masyarakat Bali. Oleh karena itu, keberadaan pariwisata di Bali seharusnya dapat menjaga kelestarian budaya, alam, dan ketentraman masyarakat Bali.
Sudah saatnya kita berpikir dan berwawasan “Jaga Bali dengan Pariwisata”. Pandangan ini mengharapkan pariwisata dapat memberikan dampak positif terhadap kelestarian budaya, alam, dan masyarakat Bali. Pariwisata akan bisa menjaga Bali jika dilaksanakan dengan konsep kearifan lokal masyarakat Bali. Salah satu kearifan lokal Bali yang bisa diterapkan dalam sektor pariwisata adalah Tri Hita Karana (THK).
Tri Hita Karana adalah konsep yang mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, kita harus menjaga keharmonisan dalam tiga hubungan utama, yaitu: Hubungan dengan Tuhan (Konsep Parhyangan); Hubungan dengan sesama manusia (Pawongan); Hubungan dengan alam (Palemahan).
Jika konsep Tri Hita Karana ini diterapkan dalam dunia pariwisata, maka akan mampu menjaga keberlanjutan Pulau Bali dengan beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menerapkan pariwisata berbasis ajaran Tri Hita Karana dalam rangka menjaga kelestarian Pulau Bali.
Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan. Lingkungan adalah elemen utama dalam pariwisata Bali. Saat ini, kita menghadapi berbagai isu yang berkaitan dengan pengelolaan alam Bali. Peningkatan jumlah wisatawan menyebabkan masalah seperti bertambahnya jumlah kendaraan yang berkontribusi terhadap polusi udara, serta masalah sampah yang mencemari sungai, laut, dan daratan Bali.
Meskipun pemerintah Bali telah mengeluarkan Pergub No. 97 Tahun 2018 tentang pembatasan timbunan sampah plastik, penerapan di lapangan belum maksimal. Oleh karena itu, perlu langkah nyata dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Ini adalah penerapan konsep Palemahan dalam sektor pariwisata Bali.
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal. Pariwisata Bali harus melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama dalam pengelolaan pariwisata. Masyarakat Bali harus menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri dan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari perkembangan sektor ini. Pelatihan, pendidikan, dan pendampingan dari pemerintah dalam mengelola pariwisata harus dilakukan untuk memastikan masyarakat mampu mengelola peluang ini sebagai sumber pendapatan yang berkelanjutan. Ini adalah refleksi dari penerapan ajaran Pawongan (hubungan antar manusia) dalam pariwisata Bali.
Pelestarian Budaya dan Tradisi Lokal. Budaya dan tradisi lokal yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu Bali harus selalu dijaga melalui sektor pariwisata. Pariwisata Bali harus memberikan ruang untuk pelestarian seni, budaya, dan agama Bali. Dengan melibatkan budaya Bali dalam setiap aspek pariwisata, masyarakat Bali akan mendapatkan sumber pendanaan yang cukup untuk melestarikan seni, budaya, dan agama mereka. Hal ini adalah penerapan konsep Parhyangan (hubungan dengan Tuhan) dalam Tri Hita Karana.
Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, diharapkan alam, masyarakat, dan budaya lokal Bali akan tetap terjaga dengan adanya pariwisata di Pulau Bali. Sudah saatnya pariwisata memberikan kontribusi positif terhadap keberlanjutan Bali, sebagaimana ketiga elemen tersebut telah berkontribusi besar pada kemajuan pariwisata Bali. Pemerintah, sebagai regulator dan eksekutor pariwisata Bali, diharapkan dapat melihat fenomena ini dan mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana (THK) dalam pengelolaan pariwisata, guna menjaga kelestarian Bali untuk generasi mendatang. |RED
Discussion about this post