Sampah, sebuah kata yang sering kali membawa konotasi negatif, tidak hanya merujuk pada sampah fisik yang berserakan di jalanan atau tempat pembuangan akhir. Sampah juga mencakup kebijakan dan regulasi yang seharusnya mengatur pengelolaan sampah, tetapi sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Riuhnya isu lingkungan dan kesadaran masyarakat yang semakin meningkat, muncul pertanyaan penting: apakah aturan yang ada benar-benar efektif? Atau justru menjadi “sampah” itu sendiri, tidak lebih dari sekadar jargon yang diucapkan tanpa ada implementasi nyata?
Regulasi pengelolaan sampah di banyak negara sering kali tampak sebagai usaha populis, di mana pemerintah berusaha menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan tanpa melakukan evaluasi mendalam terhadap kebijakan yang diterapkan. Banyak kebijakan yang dirancang dengan baik di atas kertas, namun gagal dalam pelaksanaan. Misalnya, program-program daur ulang yang diusung pemerintah sering kali tidak diimbangi dengan edukasi masyarakat yang memadai. Masyarakat diminta untuk mematuhi aturan, tetapi tanpa pemahaman yang jelas, mereka hanya akan merasa bingung dan frustrasi. Akibatnya, tindakan mereka menjadi kontraproduktif, dan mereka dianggap sebagai penyebab utama masalah sampah.
Masyarakat juga sering diberikan informasi pengelolaan sampah, khususnya sampah organik dengan mengolah sampah menjadi kompos. Padahal pengomposan hanya salah satu cara mengolah sampah dan pengolahan menjadi kompos sebenarnya adalah alternative terakhir. Informasi pengomposan yang diberikan juga sering sangat terbatas, tanpa disertai metode pengomposan dan tahapan pengomposan yang sederhana, cepat, murah dan menghasilkan kompos berkualitas. Masyarakat juga tidak mendapatkan pembekalan tentang cara mengetahui kompos matang dan berkualitas. Tatkala sudah menghasilkan kompos, masyarakat juga tak mendapatkan pembekalan bagaimana mendistribusikan dan memasarkan kompos yang dihasilkan.
Kritik terhadap norma-norma yang ada tidak hanya berfokus pada kurangnya efektivitas. Dalam banyak kasus, aturan yang ditetapkan menjadi usang dan tidak relevan dengan kondisi saat ini. Perkembangan teknologi dan perubahan perilaku masyarakat memerlukan penyesuaian regulasi yang cepat. Namun, birokrasi kerap kali lamban dalam merespons perubahan ini. Aturan yang seharusnya menjadi panduan justru menjadi belenggu, membuat masyarakat terjebak dalam praktik-praktik usang yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman.
Contoh konkret dapat ditemukan di berbagai kota besar. Pemerintah di satu sisi mengklaim telah menerapkan sistem pengelolaan sampah yang canggih, sementara di sisi lain, masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa tempat pembuangan akhir sudah meluap, dan sampah masih berserakan di ruang publik. Ketidakcocokan antara kebijakan dan kenyataan ini menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketika program-program tersebut gagal, pemerintah cenderung mencari kambing hitam, sering kali mengarahkan jari kepada masyarakat dengan menyalahkan mereka atas ketidakpatuhan. Sementara itu, solusi yang lebih holistik dan partisipatif tidak pernah dipertimbangkan.
Masyarakat seharusnya tidak hanya menjadi penerima aturan, tetapi juga bagian dari proses pembuatan kebijakan. Diskusi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk individu, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta, perlu dilakukan untuk menciptakan solusi yang lebih efektif. Ketika masyarakat merasa dilibatkan, mereka lebih mungkin untuk berkomitmen terhadap pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Namun, jika aturan yang ada terus ditegakkan tanpa melibatkan suara masyarakat, maka akan sulit untuk mencapai tujuan bersama.
Krisis lingkungan yang terjadi saat ini menuntut pemahaman lebih dalam ke dalam struktur kebijakan yang ada. Pertanyaan mendasar muncul: apa sebenarnya yang didefinisikan sebagai “aturan”? Apakah itu hanya sekadar dokumen formal yang bisa diabaikan? Atau apakah itu merupakan panduan hidup yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan lingkungan dengan cara yang lebih bertanggung jawab?
Kebijakan pengelolaan sampah seharusnya mencerminkan nilai-nilai dan aspirasi masyarakat. Namun, banyak aturan yang dihasilkan lebih mencerminkan kepentingan politik sesaat daripada kebutuhan jangka panjang. Ketika pihak-pihak tertentu berupaya untuk mempopulerkan program yang hanya menguntungkan mereka, maka kebijakan yang seharusnya menjadi alat untuk mengatasi masalah justru berfungsi sebagai alat politik. Akibatnya, masyarakat tidak hanya dihadapkan pada sampah fisik, tetapi juga pada “sampah aturan” yang tidak efektif dan menyesatkan.
Mereformasi kebijakan pengelolaan sampah bukan hanya tentang menciptakan aturan baru, tetapi juga tentang mengevaluasi dan memperbaiki yang sudah ada. Menjadi kebutuhan menempatkan kebijakan dalam kerangka yang lebih luas, melihatnya sebagai bagian dari ekosistem sosial dan lingkungan. Kebijakan yang baik harus bersifat fleksibel dan adaptif, mampu mengakomodasi perubahan yang cepat. Selain itu, penting untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, mendengarkan suara mereka, dan memahami kebutuhan serta tantangan yang mereka hadapi.
Kebijakan Pengelolaan Sampah ; Antara Realita dan harapan
Kondisi kini berada pada titik kritis di mana tindakan hari ini akan menentukan masa depan lingkungan dan masyarakat. Memahami bahwa “aturan” bukan hanya sekadar peraturan, tetapi juga mencakup komitmen untuk bertindak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Kebijakan yang usang dan tidak relevan dapat menghambat efektivitas pengelolaan sampah. Penting bagi pembuat kebijakan untuk melakukan evaluasi secara berkala dan melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, agar pengelolaan sampah dapat dijalankan dengan lebih efektif dan berkelanjutan.
Banyak wilayah menerapkan sistem pemisahan sampah yang membagi sampah menjadi kategori seperti organik, anorganik, dan berbahaya. Namun, banyak dari sistem ini tidak di-update sesuai dengan perkembangan tren daur ulang dan teknologi baru. Misalnya, ketika jenis plastik baru muncul, kebijakan pemisahan yang ada mungkin tidak mencakup kategori tersebut, sehingga limbah tersebut berakhir di tempat pembuangan akhir alih-alih didaur ulang. Contoh lainnya saat Covid-19, pada area fasilitas umum tidak tersedia tempat khusus untuk membuang masker bekas pakai sehingga cenderung tercampur dengan sampah lainnya.
Jika berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, khususnya Pasal 11 ayat (1) poin a yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pihak lain yang diberi tanggung jawab untuk itu. Realitanya masih terdapat daerah belum memiliki fasilitas pengelolaan yang memadai, seperti tempat pembuangan akhir (TPA) yang memenuhi standar. Hal ini menyebabkan penumpukan sampah dan mempersulit masyarakat dalam memenuhi kewajiban pemisahan limbah.
Begitu juga kebijakan daur ulang sering kali ditetapkan tanpa mempertimbangkan infrastruktur dan pendidikan yang diperlukan. Beberapa daerah memiliki target ambisius untuk daur ulang, tetapi tidak menyediakan fasilitas yang memadai atau program edukasi bagi masyarakat. Akibatnya, meskipun ada aturan, tingkat partisipasi masyarakat dalam program daur ulang tetap rendah. Hal ini menciptakan kesenjangan antara harapan dan realitas.
Beberapa wilayah juga telah melarang penggunaan kantong plastik untuk mengurangi sampah plastik. Namun, tanpa menyediakan alternatif yang praktis dan terjangkau, seperti tas kain yang dapat digunakan berulang kali, larangan tersebut justru menyulitkan masyarakat. Banyak orang yang tidak memiliki akses ke alternatif yang ramah lingkungan, sehingga larangan ini menjadi tidak relevan dan sulit untuk diterapkan secara efektif.
Realita juga beberapa daerah menerapkan kebijakan pengelolaan sampah yang fokus pada sanksi bagi masyarakat yang tidak mematuhi aturan, alih-alih memberikan insentif untuk berpartisipasi. Pendekatan ini sering kali menciptakan rasa takut dan ketidakpuasan, bukan kesadaran dan komitmen. Ketika masyarakat merasa tertekan oleh ancaman sanksi, mereka cenderung mengabaikan aturan daripada berusaha mematuhi.
Fenomena yang terjadi pada beberapa kasus, kebijakan pengelolaan sampah terlalu kaku dan tidak dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi. Misalnya, jika suatu kebijakan ditetapkan tanpa mempertimbangkan peningkatan populasi atau perubahan perilaku konsumen, maka kebijakan tersebut akan segera menjadi usang. Kebijakan yang terlalu kaku mungkin tidak mampu menangani fluktuasi dalam produksi sampah atau inovasi dalam teknologi pengelolaan.
Kenyataan di banyak daerah, program pembangunan infrastruktur untuk pengelolaan sampah tidak mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Misalnya, jika sebuah kota mengalami pertumbuhan pesat tetapi tidak membangun fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, maka kebijakan yang ada akan menjadi tidak relevan. Sampah akan terus menumpuk dan menciptakan masalah bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Mesti diakui bahwa banyak kebijakan pengelolaan sampah yang ditetapkan tanpa melibatkan masyarakat. Ketika suara masyarakat tidak didengar, kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak mencerminkan kebutuhan dan harapan mereka. Ini menciptakan jarak antara pemerintah dan masyarakat, di mana masyarakat merasa terasing dari proses pengambilan keputusan.
Hak Dan Kewajiban Pengelolaan Sampah
Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat menjadi bagian penting dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah. Namun, realitas menunjukkan bahwa hak ini sering kali tidak terpenuhi. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jelas tentang pengelolaan sampah, tetapi banyak yang tidak mengetahui fasilitas yang tersedia maupun cara yang benar untuk memisahkan limbah. Ketidakpahaman ini menciptakan ketidakpuasan dan rasa frustrasi terhadap pemerintah.
Kewajiban individu untuk memisahkan dan mengelola sampah yang dihasilkan tercantum dengan jelas dalam undang-undang. Selain itu, masyarakat dibebani dengan kewajiban untuk membayar biaya pengelolaan sampah. Pembayaran untuk mendukung sistem pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan.
Bila merujuk pasal 24 ayat (1) Undang-Undang pengelolaan sampah disebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah. Ayat (2) menyebutkan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Satu sisi adanya pembiayaan pengelolaan sampah dan disisi lain masyarakat juga membayar restribusi, namun pelayanan sering sekali tidak memadai. Pengangkutan sampah juga cenderung tidak dilakukan secara rutin.
Kesenjangan antara hak dan kewajiban terlihat mencolok. Masyarakat berhak mendapatkan layanan pengelolaan sampah yang efektif, tetapi kenyataannya, banyak daerah yang tidak memiliki sistem yang memadai. Sampah menumpuk di jalanan dan lingkungan, sementara masyarakat merasa tertekan dengan kewajiban membayar biaya pengelolaan yang tidak diimbangi dengan pelayanan yang baik. Ketidakpuasan ini sering kali menimbulkan protes dan keresahan, karena masyarakat merasa dibebani dengan kewajiban tanpa mendapatkan hak yang layak.
Pemerintah, sebagai pihak yang bertanggung jawab, harus memastikan hak masyarakat terpenuhi. Namun, banyak pemerintah daerah yang menghadapi kendala anggaran dan sumber daya. Alokasi dana dari pajak seharusnya digunakan untuk meningkatkan infrastruktur pengelolaan sampah, tetapi sering kali tidak terlihat dampaknya. Badan pengelola sampah terjebak dalam birokrasi yang lamban, menghambat implementasi program yang seharusnya memberikan layanan yang baik. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat memperburuk situasi.
Solusi untuk mengatasi kesenjangan ini memerlukan pendekatan yang lebih inklusif. Meningkatkan transparansi dan komunikasi dengan masyarakat sangat penting. Edukasi mengenai pengelolaan sampah perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami pentingnya memisahkan dan mengelola limbah. Pemerintah juga harus memastikan bahwa alokasi dana dari pajak digunakan secara efektif untuk menyediakan fasilitas dan layanan yang memadai.
Hak dan kewajiban dalam pengelolaan sampah harus saling mendukung. Tanpa upaya nyata dari pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat, kesenjangan ini akan terus ada. Memastikan hak atas lingkungan yang bersih dan melaksanakan kewajiban membayar dan mengelola sampah dengan baik adalah langkah penting menuju pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan efektif.
Birokrasi Pengelolaan Sampah & Kebutuhan Masyarakat
Birokrasi yang ada sering kali menjadi penghalang dalam proses pengelolaan yang efektif. Sementara itu, kebutuhan masyarakat akan lingkungan yang bersih dan sehat semakin mendesak. Ketidakselarasan antara birokrasi pengelolaan sampah dan kebutuhan masyarakat menciptakan berbagai masalah yang harus segera diatasi.
Birokrasi pengelolaan sampah sering kali ditandai dengan struktur yang kaku dan prosedur yang rumit. Banyak instansi pemerintah terlibat dalam pengelolaan sampah, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Setiap tingkatan memiliki tanggung jawab dan peran masing-masing. Sayangnya, hal ini sering kali menciptakan tumpang tindih dan kebingungan dalam pelaksanaan kebijakan. Proses pengambilan keputusan menjadi lambat, dan tanggapan terhadap masalah yang mendesak sering kali tertunda.
Kendala anggaran juga menjadi masalah utama dalam birokrasi pengelolaan sampah. Banyak pemerintah daerah menghadapi keterbatasan dana untuk menyediakan fasilitas pengelolaan yang memadai. Pembangunan infrastruktur yang diperlukan untuk pengelolaan sampah sering kali terhambat oleh birokrasi yang lamban dan prosedur penganggaran yang rumit. Akibatnya, masyarakat tidak mendapatkan layanan yang memadai, dan sampah menumpuk di jalanan serta lingkungan. Hal ini sejalan dengan pendapat David E. Ross yang dituangkan dalam artikel “Waste management for the people” yang menyatakan bahwa layanan pengelolaan sampah yang efektif dapat memakan biaya yang besar, seringkali di luar anggaran pemerintah daerah, meskipun manfaatnya sangat jelas.
Kebutuhan masyarakat akan pengelolaan sampah yang efektif sangat jelas. Masyarakat menginginkan lingkungan yang bersih, sehat, dan aman. Kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah yang baik semakin meningkat, seiring dengan dampak negatif pencemaran sampah yang semakin terlihat. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jelas tentang cara pengelolaan sampah, fasilitas yang tersedia, dan kebijakan yang diterapkan. Namun, banyak yang merasa terasing dari proses pengambilan keputusan, sehingga suara mereka tidak terdengar.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah juga sangat penting. Ketika masyarakat terlibat dalam proses, mereka akan lebih memahami tanggung jawab mereka dalam memisahkan dan mengelola sampah. Namun, birokrasi yang kaku sering kali menghalangi partisipasi ini. Proses yang rumit dan kurangnya transparansi membuat masyarakat merasa tidak memiliki kontrol atas pengelolaan sampah di lingkungan mereka.
Padahal dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah, pada Pasal 28 ayat (1) disebutkan Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Peran tersebut dapat dalam bentuk pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Bentuk lainnya yaitu pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan. Permasalahannya proses pengambilan keputusan sering kali tidak melibatkan masyarakat secara aktif. Kurangnya wadah untuk menyampaikan aspirasi membuat masyarakat merasa terasing dan tidak memiliki kontrol atas kebijakan yang memengaruhi mereka.
Birokrasi pengelolaan sampah dan kebutuhan masyarakat sering kali berjalan seiring, tetapi tidak selalu selaras. Birokrasi yang ada sering kali tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Misalnya, ketika terjadi bencana alam atau peningkatan volume sampah, birokrasi yang ada mungkin tidak mampu memberikan respons yang cepat dan efektif. Masyarakat merasa terabaikan ketika kebutuhan mendesak mereka tidak ditanggapi dengan serius oleh instansi terkait.
Kebutuhan masyarakat di sisi lain juga dapat terhambat oleh birokrasi yang tidak efisien. Ketika masyarakat berusaha untuk mengajukan usulan atau keluhan terkait pengelolaan sampah, sering kali mereka dihadapkan pada prosedur yang rumit dan tidak jelas. Hal ini menciptakan kesenjangan antara harapan masyarakat dan realitas birokrasi yang ada. Ketidakpahaman tentang proses pengelolaan sampah juga membuat masyarakat merasa tidak berdaya dalam mengatasi masalah yang ada.
Mengatasi kesenjangan antara birokrasi pengelolaan sampah dan kebutuhan masyarakat memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan responsif. Pertama, perlu adanya reformasi dalam struktur birokrasi yang ada. Mengurangi lapisan birokrasi dan memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah daerah dapat mempercepat pengambilan keputusan. Dengan demikian, tanggapan terhadap masalah pengelolaan sampah dapat dilakukan secara lebih cepat dan efisien.
Kedua, meningkatkan transparansi dalam proses pengelolaan sampah sangat penting. Masyarakat perlu diberikan akses informasi yang jelas mengenai kebijakan, fasilitas, dan program yang ada. Penggunaan teknologi digital dapat membantu dalam menyampaikan informasi ini secara lebih efektif. Masyarakat yang terinformasi dengan baik akan lebih mudah berpartisipasi dalam pengelolaan sampah.
Ketiga, melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dapat menciptakan rasa kepemilikan dan tanggung jawab. Program dialog antara pemerintah dan masyarakat perlu dibangun untuk mendengarkan suara masyarakat dan mengakomodasi kebutuhan mereka. Dengan melibatkan masyarakat, kebijakan pengelolaan sampah dapat disusun dengan lebih baik dan sesuai dengan realitas yang ada di lapangan.
Masa Depan Pengelolaan Sampah
Tantangan utama dalam pengelolaan sampah meliputi kurangnya infrastruktur, keterbatasan anggaran, dan kurangnya kesadaran masyarakat. Banyak daerah tidak memiliki fasilitas pengelolaan yang memadai, menyebabkan penumpukan sampah di jalanan dan lingkungan. Sistem yang ada sering kali tidak efisien, dengan birokrasi yang rumit dan lamban. Akibatnya, masyarakat merasa terasing dan tidak berdaya terhadap kondisi lingkungan mereka.
Sementara itu, globalisasi dan perkembangan teknologi memberikan dampak signifikan terhadap pola produksi dan konsumsi. Masyarakat cenderung mengonsumsi lebih banyak barang sekali pakai, meningkatkan limbah yang dihasilkan. Selain itu, banyak produk tidak dirancang untuk didaur ulang, membuat pengelolaan sampah semakin sulit. Tanpa strategi pengelolaan yang efektif, dampak negatif terhadap lingkungan akan terus meningkat.
Reformasi lingkungan harus menjadi fokus utama dalam pengelolaan sampah ke depan. Langkah pertama yang perlu diambil melibatkan penyusunan regulasi yang lebih tegas mengenai pengurangan limbah. Pemerintah harus menetapkan standar yang jelas untuk meminimalkan produksi sampah dari sumbernya. Kebijakan seperti pajak untuk produk sekali pakai dan insentif bagi produsen yang menggunakan bahan ramah lingkungan dapat mendorong perubahan perilaku.
Kedua, peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah sangat penting. Investasi dalam teknologi yang mendukung pemisahan, daur ulang, dan pengolahan sampah perlu dilakukan. Fasilitas pengelolaan harus dirancang untuk mengakomodasi berbagai jenis limbah, termasuk limbah elektronik dan limbah organik. Pendekatan ini tidak hanya akan mengurangi volume sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir, tetapi juga menghasilkan sumber daya baru melalui daur ulang.
Ketiga, pendidikan dan kesadaran masyarakat harus menjadi prioritas. Program edukasi mengenai pentingnya pengelolaan sampah yang baik harus diperkenalkan di sekolah, komunitas, dan tempat kerja. Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami tanggung jawab mereka dalam mengurangi dan mengelola sampah. Kampanye kesadaran dapat membantu mengubah pola pikir dan perilaku, menjadikan pengelolaan sampah sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari.
Implementasi strategi pengelolaan sampah yang berkelanjutan memerlukan pendekatan holistik. Pertama, pengembangan sistem ekonomi sirkular harus diprioritaskan. Dalam ekonomi sirkular, produk dan bahan digunakan kembali sebanyak mungkin, mengurangi limbah dan memaksimalkan nilai sumber daya. Langkah ini tidak hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru melalui inovasi dan kewirausahaan.
Kedua, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting. Kemitraan publik-swasta dapat meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sampah, membawa inovasi dan investasi ke dalam sistem yang ada. Selain itu, melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan menciptakan rasa kepemilikan dan tanggung jawab. Program-program partisipatif dapat membantu menghasilkan solusi yang lebih relevan dan efektif.
Ketiga, teknologi harus dimanfaatkan untuk meningkatkan pengelolaan sampah. Penggunaan sistem berbasis data untuk memantau dan mengelola aliran sampah dapat meningkatkan efisiensi. Aplikasi dan platform digital dapat membantu masyarakat melaporkan masalah pengelolaan sampah dan memberikan informasi tentang fasilitas pengelolaan yang tersedia. Teknologi juga dapat digunakan untuk mendukung proses daur ulang, seperti penggunaan mesin pemilah otomatis.
Masa depan lingkungan sangat bergantung pada tindakan yang diambil hari ini. Reformasi lingkungan dalam pengelolaan sampah harus menjadi bagian dari agenda pembangunan berkelanjutan. Ketika pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat bekerja sama, peluang untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat akan meningkat. Mengurangi dampak negatif dari limbah tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi juga melindungi ekosistem dan sumber daya alam untuk generasi mendatang.
Secara keseluruhan, masa depan pengelolaan sampah memerlukan strategi yang berani dan inovatif. Reformasi lingkungan tidak hanya tentang mengatasi masalah saat ini, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang berkelanjutan untuk masa depan. Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif, pengelolaan sampah dapat bertransformasi menjadi solusi bagi tantangan lingkungan yang lebih luas. Keterlibatan semua pemangku kepentingan menjadi kunci dalam mewujudkan visi ini, memberikan harapan bagi generasi mendatang untuk hidup dalam lingkungan yang lebih bersih dan sehat. Menurut Angie Silva dan kawan-kawan dalam artikel berjudul “From waste to sustainable materials management: Three case studies of the transition journey” yang dipublikasikan tahun 2017 disebutkan bahwa transisi pengelolaan sampah menuju ke pengelolaan yang lebih berkelanjutan memerlukan pengembangan lebih lanjut dalam kebijakan pemerintah, perencanaan, dan perubahan perilaku masyarakat.
Penulis :
I Nengah Muliarta
Akademisi Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi Universitas Warmadewa
Discussion about this post