Singaraja, Sebanyak 12 lurah dari Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang melaksanakan studio tiru ke Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, Jumat 1 Desember 2023. Para lurah tersebut belajar tentang akulturasi dan toleransi yang berkembang di Desa Pegayaman.
Kunjungan para lurah tersebut dipimpin Camat Kedungkandang, Kota Malang, Fahmi Fauzan AZ. Rombongan lurah disambut Perbekel Pegayaman, Agus Asygor Ali dan sejumlah tokoh masyarakat Pegayaman. Ikut menyambut Camat Sukasada, I Gusti Ngurah Suradnyana.
Sesampai di Kantor Desa Pegayaman, begitu turun dari bus, Camat Kedungkandang dan para lurah yang disertai ibu-ibu ketua PKK kelurahan langsung disambut kesenian burdah. Beberapa saat mereka menikmati seni burdah dan atraksi pencak belibet.
Camat Sukasada, I Gusti Ngurah Suradnyana, dalam sambutannya menyampaikan terima kasih dan merasa bahagia atas kunjungan tersebut. “Saya sangat bahagia atas kunjungan bapak-bapak ke Buleleng, khususnya ke Desa Pegayaman,” katanya.
Ia lantas mempromosikan pariwisata yang ada di Buleleng. Mulai sejumlah air terjun, pantai Lovina hingga lapangan golf Bali Handara Hokaido yang gapuranya terkenal ke seluruh dunia.
Sementara Camat Kedungkandang, Fahmi Fauzan, mengaku terharu dan merinding atas sambutan yang diberikan warga Pegayaman. Menurutnya, kunjungannya ini untuk mendapatkan hal-hal positif terkait penerapan Permendagri 18 Tahun 2018 tentang kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa.
“Walaupun memang bentuk kelurahan dan desa itu berbeda, tapi kami ingin mendapatkan nilai-nilai karena di Desa Pegayaman ini sudah berabad-abad terjadi akulturasi,” katanya.
Menurutnya, selama itu pula tentu sudah tertanam nilai-nilai kegotong-royongan dan toleransi. “Hal-hal inilah yang kami ingin pelajari,” kata Camat Kedungkandang, yang ternyata kelahiran Kampung Lebah Kelurahan Kampung Kajanan ini.
Perbekel Pegayaman, Agus Asygor Ali, menjelaskan, di Pegayaman selain lembaga dinas, ada lembaga kepenghuluan. Yakni lembaga adat yang khusus membidangi kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari besar agama Islam.
Selain itu, di dalam wilayah desa Pegayaman ada desa adat yang warganya beragama Hindu. “Kami hidup berdampingan secara rukun. Yang selalu berjalan bersama. Tidak memandang rendah dan tinggi,” katanya.
Asygor Ali mengatakan, kerjasama antara penduduk muslim dan Hindu berlangsung baik. Misalnya ada orang Hindu punya tanah, penggarapnya orang Islam. Begitu sebaliknya. Misalnya orang Islam punya sapi, yang ngangon warga Hindu.
“Gotong-royong antara orang Islam dan Hindu selalu bersama-sama. Toleransinya sangat kental sekali,” papar Perbekel Asygor Ali.
Kenapa begitu? Menurutnya, karena para orangtua mengarahkan anak-anaknya memahami ajaran agama dengan baik dan benar. Karena itu terjadi kerukunan yang baik dan benar pula.
Sementara pemerhati sejarah asal Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto, menjelaskan, Desa Pegayaman sudah ada 400 tahun, dimulai pada 1648 saat Raja Buleleng pertama, I Gusti Anglurah Panji Sakti merekrut 100 laskar Muslim dari Blambangan, Banyuwangi.
Itu terjadi sesaat setelah Raja Panji Sakti berhasil menaklukkan Kerajaan Blambangan, yang waktu itu dipimpin Tawang Alun. Raja Panji Sakti waktu itu bekerja sama dengan Kerajaan Mataram Islam Solo.
Setelah membantu Kerajaan Buleleng terutama dalam memperluas pengaruh politiknya, 100 laskar tersebut dihadiahi lahan yang sekarang dikenal Desa Pegayaman. Para laskar juga menikah dengan perempuan-perempuan Bali dari warga Pasek yang menjadi muallaf.
Menurut Suharto, warga Pegayaman terdiri atas tiga suku, yakni suku Jawa, suku Bali dan suku Bugis. Sementara yang disebut suku Jawa adalah mereka yang direkrut Raja Panji Sakti di Blambangan. Kelompok ini sendiri terdiri atas lima suku, yakni suku Makassar, suku Blambangan, suku Bali, suku Madura dan suku Matraman.
Suharto yang juga penulis buku “Ensiklopedia Desa Muslim Pegayaman Bali” ini menjelaskan, di Pegayaman selama berabad-abad stabil emosi dan budayanya. Tidak pernah ada konflik SARA dengan tetangga desa-desa Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Apa rahasianya? “Rahasianya ada di bahasa ibu. Ibu yang memanggil anak-anaknya dengan Wayan, Nengah, Nyoman atau Ketut. Sementara para bapak sibuk berperang membantu kerajaan. Akhirnya yang perannya lebih banyak dalam membesarkan anak-anak adalah ibu,” katanya.
Itulah yang menyebabkan di Pegayaman yang berkembang adalah bahasa Bali. Yakni bahasa para ibu. Bahasa Bali-nya bahasa Bali halus. Kuliner yang berkembang juga kuliner Bali. Adat yang berkembang adalah adat Bali dengan prinsip “Adat berpangku syara’ bersandar Kitabullah”.
“Jadi semua makanan dan budaya yang berkembang di Pegayaman penyaringnya adalah prinsip ‘Adat berpangku syara’ bersandar Kitabullah’. Semua disaring oleh aturan-aturan yang bersandar kepada Al Quran dan Hadist,” ujar Suharto. (TIM)
Discussion about this post